...ahlan wasahlan para pengembara ilmu...

Kamis, 01 Maret 2012

qodho sholat

Qadha’ shalat adalah mengerjakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Tidak disyaratkan dalam mengqadha’ shalat pada waktu yang sama dengan shalat yang ditinggalkan, seperti diperbolehkan mengqadha’ shalat dhuhur di waktu isya’ atau lainnya. Namun lebih utama tidak mengqadha shalat di waktu-waktu yang dimakruhkan, yaitu :

1. setelah shalat subuh hingga terbitnya matahari

2. ketika terbitnya matahari hingga ketinggian seukuran tombak.
3. ketika istiwa’ (posisi matahari tepat di tengah).
4. setelah shalat ashar hingga terbenamnya matahari
5. ketika menguningnya matahari mendekati terbenam hingga sempurna terbenam.

Mengqadha’ shalat dapat ditunda pelaksanaannya jika ketika meninggalkan shalat karena udzur seperti sakit, lupa, ketiduran (tanpa kesengajaan). Namun jika tanpa udzur seperti karena malas, maka wajib bersegera mengqadha’ tanpa melaksanakan amal ibadah lainnya sebelumnya (seperti shalat sunnah) kecuali untuk tidur dan mencari nafkah yang diwajibkan.


Mengqadha’ shalat jahriyah (shalat maghrib, isya’ dan subuh) di siang hari disunnahkan mengisror (melirihkan) bacaan. Sebaliknya mengqadha’ shalat sirriyah (shalat dhuhur dan ashar) di malam hari disunahkan untuk mengeraskan bacaan. Kecuali menurut Imam Mawardi tetap disunnahkan melirihkan bacaan shalat sirriyah sekalipun diqadha’ di malam hari dan mengeraskan bacaan shalat jahriyah walaupun diqadhai di siang hari.


Referensi : Almajmu’ syarh Muhadzab juz 3 hal 390


Raudhoh altholibin juz 1 hal 70


I’anah Tholibin juz 1 hal 31

ma'na bida'ah

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam sebagaimana disebutkan dalam kitab tuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum :

1. Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah dan Mu’tazilah.

2. Makruh, seperti membuat hiasan-hiasan dalam masjid.
3. Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu).
4. Sunnah, seperti membangun pesantren atau madrasah.
5. Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat.

Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya bergantung pada tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu bahwu untuk menunjang dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu nahwu menjadi wajib.”.[1]


Penjelasan tentang bid’ah bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut :


1. Hadits riwayat sayyidatina A’isyah :


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
“Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” HR.Muslim.

Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :


Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.


Kedua, memperhatikan pada ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.


Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya.[2]


2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud :

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.

Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.


Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’.


Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ), sehingga makna dari hadits ini adalah “bid’ah yang buruk itu sesat” . Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar). Sebagaimana contoh-contoh berikut :


* Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :


وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.

Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:


وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.

Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.


* Hadits riwayat Imam Ahmad :


عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)

Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.


Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at.


Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.[3]


[1] Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal. 6-8.


[2] Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal.6-7.


[3] Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488.

ulama dan waliyullah

Ulama (jama` dari orang alim), Ulama bisa dibilang Ulama bila dia telah memahami 3 hal :

1. Ilmu Syariat

2. Ilmu Thariqat

3. Ilmu Haqeqat

Sesungguhnya ulama telah disebutkan di dalam Al-Qur`an dan Hadits Nabi SAW bahwa Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu.

Nabi SAW bersabda : “Ulama warisannya para nabi” dan Nabi SAW bersabda yang diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud : “Wahai Ibnu Mas`ud, duduknya kamu satu jam di majlisnya orang alim, tidak memegang pena atau pulpen dan tidak menulis satu huruf pun maka lebih baik kamu daripada kamu memerdekakan seribu orang budak, dan melihatnya kamu ke wajah orang alim, maka lebih baik kamu dari pada kamu menyedekahkan seribu kuda di jalan Allah SWT dan mencium tangannya orang alim, maka lebih baik kamu dari pada kamu beribadah seribu tahun”.

Berkata Nabi SAW : “Satu orang ahli ilmu seperti ulama yang waro (apik) lebih ditakutkan syaiton dari pada seribu orang ahli ibadah yang bersungguh-sungguh tetapi dia bodoh”.

Berkata Nabi SAW : “Barang siapa yang mencari ilmu kepada seorang ulama maka Allah akan mengampuni dosanya sebelum dia melangkah”.

Berkata Nabi SAW : “Barang siapa yang memandang kepada seorang alim dengan memandang pandangan gembira, maka Allah SWT menjadikan pandangannya dengan Allah menciptakan para Malaikat yang khusus untuk memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang memandang ulama”.

Berkata Nabi SAW : “Barang siapa yang memuliakan orang alim, maka dia telah memuliakan aku, dan barang siapa yang telah memuliakan aku, maka dia telah memuliakan Allah, barang siapa yang telah memuliakan Allah maka tempatnya adalah di syurga”.

Berkata Nabi SAW : “Tidurnya orang alim lebih baik dari pada ibadahnya orang jahil atau bodoh”.

Jelas hadits di atas bahwa ulama adalah kekasih Allah SWT dan kekasih Nabi SAW, Ulama-ulama Nabi Muhammad SAW adalah ulama yang mengajak umat mengajarkan kepada kebesaran Allah SWT dan mengikuti sunah-sunah Rasulullah SAW serta menerangkan kepada mereka tentang :

1. Ilmu Wajib

2. Ilmu Sunah

3. Ilmu Makruh

4. Ilmu Mubah

5. Ilmu Subhat

Di dalam ilmu syari`at, thareqat dan haqeqat.

Hakekatnya tugas ulama kepada orang awam adalah mengajarkan bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, agar ketauhidan dan keyakinan mereka tidak berubah dari kemegahan dunia serta isinya.

Apakah Para Wali Itu ?

Aulia atau Wali adalah ulama yang mengamalkan ilmu Allah SWT, ada yang diberi dan ada yang harus dengan belajar.



Aulia atau Wali adalah karunia dari Allah yang tidak bisa dicita-citakan untuk orang tersebut menjadi wali. Para Aulia atau Wali mereka kebanyakan beristiqomah/konsisten/kontinyu di dalam mengamalkan amal ibadah kepada Allah SWT, tetapi Aulia ini dibagi 2 :

1. Aulia atau Wali yang di mulai dengan menuntut ilmu

Aulia atau Wali ini akan lebih dipelihara oleh Allah SWT dengan ilmu yang dimilikinya karena dia memahami karunia yang telah diberikanNya, maka dia akan menjaga dengan sebaik-baiknya, menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.

Allah SWT berfirman : ”Sesungguhnya para wali-wali Allah tidak merasakan takut dan tidak merasakan sedih”.

Ayat di atas jelas bahwa Allah SWT ridho kepadanya dan dia ridho kepada Allah SWT, baik apa yang Allah berikan kesenangan maupun kesusahan, tidak ada di hati para Wali Allah itu mengeluh karena mereka selalu bersyukur dan hari-harinya bertambah kebaikan sehingga Allah memberikan kelas yang tinggi disisi-Nya dengan beberapa macam kelas, para Wali Allah itu seperti ilmu padi, hati mereka makin terisi dengan cahaya, maka makin tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah SWT.

Sesungguhnya telah jelas para Wali-wali Allah di dalam sabda Nabi SAW bahwa Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya bila seseorang hamba Allah dicintai oleh-Nya maka Allah akan menjadikan matanya adalah mata-Ku, kupingnya adalah kuping-Ku, mulutnya adalah mulut-Ku dan gerakannya adalah gerakan-Ku dan barang siapa yang mengganggunya maka dia siap berperang dengan-Ku”.

Maka demikian itu Allah memberikan kelebihan kepada mereka berupa kelebihan yang diluar akal manusia yang dinamai dengan “Karomah”.

Karomah

Karomah atau sering disebut dengan Keramat (Kemuliaan), kemuliaan disebabkan karena pengamalan ilmu mereka sehingga menimbulkan efek-efek kebaikan, mereka tidak rela melihat orang-orang fukoro atau masakin kesusahan, mereka selalu menjaga anak-anak yatim dan banyak sekali amal kebaikan yang menimbulkan karomah atau kemuliaan.

Sebagian dari ulama menafsirkan bahwa karomah atau kemuliaan Allah berikan kepada para Wali-wali Allah seperti hal-hal yang tidak diberikan kepada hamba-hamba Allah yang biasa seperti contohnya : ada mereka yang bisa menyembuhkan orang yang buta, ada mereka yang bisa berjalan di air atau di udara atau hal-hal yang diluar kebiasaan manusia, akan tetapi hakekatnya bahwa para wali Allah itu mulia karena mereka memuliakan undang-undang Allah SWT. Diantara mereka banyak sekali dan tidak terhitung jumlahnya dan tidak ada satu orang walipun yang mengakui dirinya wali.

2. Aulia atau Wali yang diberikan dengan karunia Allah tanpa belajar

Ada pula Aulia atau Wali yang diberikan dengan karunia Allah tanpa belajar tetapi banyak dari pada mereka yang tidak bisa menjaganya seperti contohnya Barsesoh yang diberikan kemuliaan semua muridnya bisa terbang, akan tetapi karena tidak memiliki ilmu dia menghalalkan segala cara sehingga dia mati dalam keadaan yang buruk.

Maka kesimpulannya adalah bahwa ilmu itu diatas segala-galanya.

baju besi

 Sya’bi meriwayatkan, ketika menjabat sebagai khalifah, sayyidina Ali bin Abi Thalib ra pernah kehilangan baju besi, dan ternyata baju besi itu berada di tangan seorang yang beragama Nasrani. Lalu sayyidina Ali melapor kepada hakim yang bernama Syuraih, menuntut agar baju besi itu dikembalikan kepadanya.

Dalam sidang pengadilan Sayyidina Ali ra berkata,

“Baju besi ini kepunyaanku, tidak kujual dan kuberikan kepada siapapun.”

Hakim bertanya kepada orang Nasrani itu,

“Apa jawabanmu terhadap tuduhan Amirul Mu’minin ini?”

Jawab Nasrani,

“Baju besi ini kepunyaanku. Namun demikian bukan berarti aku menuduh Amirul Mu’minin berdusta.”

Hakim bertanya kepada sayyidina Ali ra,

“Ya Amiral Mu’minin, adakah Engkau mempunyai bukti?”

Sayyidina Ali ra tersenyum dan menyatakan tepat apa yang dilakukan oleh hakim Syuraih. Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai bukti bahwa baju perang itu adalah miliknya.

Akhirnya hakim itu memutuskan bahwa baju perang itu kepunyaan Nasrani. Lalu diambilnya, dan setelah berjalan beberapa langkah, dia kembali berucap,

“Aku mengakui bahwa ini adalah putusan para nabi. Amirul Mu’minin mengadukanku pada hakim, lalu dipertimbangkan dan hakim memenangkanku. Sekarang aku bersaksi, ‘Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.’ Demi Allah, baju besi ini benar kepunyaanmu, wahai Amirul Mu’minin. Ia terjatuh ketika Engkau dalam perjalanan menuju Shiffin.”

Sayyidina Ali ra berkata,

“Karena Engkau telah memeluk Islam, maka baju besi itu kuberikan padamu.”

Hati sanubari dibawah bimbingan iman itulah yang menuntun sayyidina Ali ra (seorang kepala negara) dan Syuraih (seorang hakim) kepada keadilan. Khalifah yang beriman itu tidak bersedia menggunakan kekuasaannya mengambil kepunyaannya atau mempengaruhi hakim supaya memberikan putusan menurut kepentingannya.

[Dikutip dari buku "Merasakan Kehadiran Tuhan", karya Dr. Yusuf Qardhawi]

kau dimana...

aku berdiri memaku
menengadah ke dunia semu
yang menghantui hari-hariku
sepiku tanpamu...

bukan rahasia dalam hati lagi
gundahku karenamu
tak mampu kututupi lagi...

dan saat semua orang tahu,
mencelaku!!!

kau ada dimana???

tidakkah kau tahu
berat hatiku
yang harus berpura-pura tegar tanpamu...



_dedei_

......

melihat dari sudut pandangmu
membuat diriku mampu memandang 
segala sesuatu dengan berbeda...

apa yang kukira tak mungkin
selalu mungkin di matamu
menurutku tak penting
ternyata memiliki arti bagimu...

kau tuntun aku melihat dunia
kau bantu aku membuka mata
kau pegang erat jariku dan
kau tunjukan padaku
masih ada cahaya menanti...

perlahan,
kujejakan langkah mengikutimu
berusaha menjadi yang terbaik...

tak mungkin!!!
memang...

namun bersamamu
adalah harapku
inginku
dan telah menjadi pintaku pada-Nya...


_dedei_

cinta kerinduan

wahai yang Maha membasahi kaum sholih dari dahaganya...
dengan semerbak indah kelembutan-Nya yang menyeluruh...
hingga membuat mereka tenggelam dalam keasyikan dan kelezatan munajat...

setelah mereka tenggelam dalam asyiqnya "cinta kerinduan" pada-Mu...
maka terlantunlah kalimat indah dari bibir para pecinta...
dan mereka meneriakan mutiara hikmah indah itu tak henti-hentinya...
hingga mereka kehabisan suara karena asyiqnya...

wahai yang mendengki padaku...
biarkan aku hanyut bersama regukan asyiqku dengan kekasihku...